Kamis, 04 Oktober 2012

Tak Ada Salahnya Jadi Kaum Optimis


Saya dulu entah pas SD atau TK seneng main kaleng susu buat asyik-asyik sendiri. Biasanya kaleng-kaleng itu saya tengkurapkan dengan susunan persis kayak drum. Saya membayangkan diri seorang Muri, drummer Koes Plus. Saya nyanyikan lagu-lagu dari kelompok legendaris tersebut. Yang paling sering itu Kolam Susu.

...Orang bilang tanah kita tanah surga...
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman...

Belakangan saya baru sadar, ah suasana serba enak yang dilukiskan oleh Koes Plus itu jadi bumerang. Konon karena kesuburan alam yang kayak begitulah maka orang Indonesia jadi pemalas dan pada akhirnya gampang dijajah. Bandingkan dengan Jepang dan negara-negara di Eropa.

Israel yang alamnya konon tandus, panas dan gersang malah alamnya jadi ijo royo-royo berkat kerja keras orang Yahudi. Bahkan ada taman gantung segala. Menurut orang-orang yang pernah berkunjung ke situ indahnya seperti Taman Sriwedari, suatu taman imajiner dalam dunia pewayangan yang atas bantuan para jin dipersembahkan oleh Prabu Arjuna Sasrabahu kepada istrinya Dewi Citrawati.

Intinya, kita tidak boleh heran kalau sekarang kita kebanjiran produk-produk mancanegara. Dari sono-nya kita memang tidak dilahirkan sebagai produsen. Kita dilahirkan untuk bersantai-santai. Buat apa membanting tulang wong semua tersedia...sayur mayur, tanaman herbal dan energi...Makanya ada tontonan kesenian semalam suntuk seperti wayang kulit di Jawa, wayang golek pada orang-orang Sunda, sastra tutur di Minang dan lain-lain.

Di negara lain masyarakat tak akan membiarkan dirinya melekan sepanjang malam. Mereka pagi-pagi harus cepat-cepat bekerja. Paginya mereka harus berdesakan di sarana-sarana transportasi, mengumpulkan pangan sebelum datang pergantian musim. Selain musim berganti-ganti, cuaca harian pun berubah-rubah. Maka, tidak seperti di sini, acara prakiraan cuaca punya rating tinggi di televisi. Remaja dan ibu-ibu harus memperhatikan acara itu karena takut salah kostum.

Tapi cerita tentang kebudayaan adalah cerita tentang perubahan.

Maka saya tidak setuju seratus prosen bahwa bangsa kita akan selamanya menjadi konsumen. Saya termasuk orang-orang yang optimis bahwa makin hari kita akan makin dituntut untuk menjadi produsen karena alam mulai tak ramah. Prakiraan cuaca dari BMG sekarang mulai diperhatikan karena bulan-bulan yang biasanya kemarau, belum tentu kemarau.

Dunia pendidikan tinggi mulai memperhatikan kewirausahaan. Dulu konsentrasi dunia universitas di Indonesia adalah mengajarkan ilmu dan teknologi. Sekarang, karena disadari bahwa tak mungkin kita terus-menerus menjadi konsumen, kampus-kampus mulai menekankan pendidikan kewirausahaan agar bangsa ini beralih menjadi produsen.

Dan saya makin optimis karena banyak yang tak sadar bahwa produk-produk dalam negeri sekarang pun sebenarnya mulai punya tempat di masyarakat. Sepeda Polygon yang dikira produk luar, ternyata adalah bikinan Surabaya.

Kita mungkin kebanyakan cuma tahu bahwa produk-produk susu dikuasai oleh Nestle, Fontera, Morinaga. Padahal, di antara persaingan ketatnya dengan produk-produk susu luar negeri, kita juga punya produk sendiri antara lain SGM, Lactamil, Indomilk, Produgen dan Tropicana.

Belum lagi sepatu atau sandal. Tak banyak yang menyadari bahwa produk-produk lokal juga sudah mulai mendapatkan tempat. Sebut contohnya Eagle, New Era, Pakalolo dan lain-lain.
Teman saya mencatat ada sampai sekitar 250 merk dalam negeri yang lumayan dapat tempat di masyarakat.
Tak ada ruginya jadi orang yang optimis.

Oleh Sujiwo tejo dalam bukunya “Ngawur Karena Benar”

Rabu, 03 Oktober 2012

penutup 3 tahun ini (10/09 - 10/12)


Alhamdulillah, terima kasih atas segala nikmatmu ya Allah, hari ini tanggal 3 Oktober 2012 saya Budi Sulistyo resmi dinyatakan lulus menempuh pendidikan Program Diploma III Keuangan Spesialisasi Akuntansi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Terima kasih juga kepada ibunda dan ayahanda tercinta yang selama ini tidak henti-hentinya mendoakan anaknya supaya selalu diberikan semua yang terbaik oleh-Nya. Terima kasih juga kepada kakakku tersayang yang selalu mendukung adikmu ini, kepada pakdhe, mbokdhe, lek, dan semua sanak saudara atas doa dan motivasinya selama menempuh pendidikan di STAN. Tak berlebihan juga saya ucapkan terima kasih kepada bapak ibu dosen yang telah membekali ilmu yang sangat bermanfaat selama 3 tahun ini, kepada teman-teman seperjuangan 1X, 2J, 3Y, teman kos, serta semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Bulan Oktober tahun 2009 pertama kali saya pijakkan kaki di kampus tercinta Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) untuk menimba ilmu hingga akhirnya pada hari ini tanggal 3 Oktober 2012 saya bisa menyelesaikan pendidikan. 3 tahun bukan waktu yang cepat bukan juga waktu yang lambat. Semuanya terasa campur aduk selama mengikuti pendidikan di kampus Ali Wardhana ini. Ada senang dan bahagia yang bercampur peluh keringat, heuheu. Senang dan bahagia ketika setiap akhir semester bisa “lolos” ujian karena terlalu berlebihan jika saya menyebutnya lulus, hehe, semua itu berkat limpahan nikmat-Nya tentunya, Alhamdulillah ya Rabb. Peluh keringat ketika melaksanakan ujian yang selalu menjadi momok karena ancaman DO.

Terlalu sulit dilukiskan dalam kata-kata perjalanan indah ini, secuil tulisan ini hanya bertujuan sebagai pengingat, bahwa hari ini merupakan salah satu hari bersejarah bagiku, bahwa hari ini saya telah menjadi alumnus dari kampus “punggawa keuangan negara” ini, bahwa hari ini dunia yang sesungguhnya menanti goresan pena kesuksesanku, bahwa hari perjuangan yang sebenarnya akan dan harus saya mulai. Satu hal yang penting diingat dari wejangan Pak Kusmanadji “Almamater ini adalah ibu kandungmu, 3 tahun mengandungmu dengan susah payah, dan hari ini telah melahirkan putra putri terbaiknya, besarlah dengan kebaikan bukan dengan keburukan, jagalah nama baik ibu kandungmu, almamatermu!“.