Saya dulu entah pas SD atau TK seneng main kaleng susu buat asyik-asyik
sendiri. Biasanya kaleng-kaleng itu saya tengkurapkan dengan susunan persis
kayak drum. Saya membayangkan diri seorang Muri, drummer Koes Plus. Saya
nyanyikan lagu-lagu dari kelompok legendaris tersebut. Yang paling sering itu
Kolam Susu.
...Orang bilang tanah kita tanah surga...
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman...
Belakangan saya baru sadar, ah suasana serba enak yang dilukiskan
oleh Koes Plus itu jadi bumerang. Konon karena kesuburan alam yang kayak
begitulah maka orang Indonesia jadi pemalas dan pada akhirnya gampang dijajah.
Bandingkan dengan Jepang dan negara-negara di Eropa.
Israel yang alamnya konon tandus,
panas dan gersang malah alamnya jadi ijo
royo-royo berkat kerja keras orang Yahudi. Bahkan ada taman gantung segala.
Menurut orang-orang yang pernah berkunjung ke situ indahnya seperti Taman
Sriwedari, suatu taman imajiner dalam dunia pewayangan yang atas bantuan para
jin dipersembahkan oleh Prabu Arjuna Sasrabahu kepada istrinya Dewi Citrawati.
Intinya, kita tidak boleh heran
kalau sekarang kita kebanjiran produk-produk mancanegara. Dari sono-nya kita memang tidak dilahirkan
sebagai produsen. Kita dilahirkan untuk bersantai-santai. Buat apa membanting
tulang wong semua tersedia...sayur
mayur, tanaman herbal dan energi...Makanya ada tontonan kesenian semalam suntuk
seperti wayang kulit di Jawa, wayang golek pada orang-orang Sunda, sastra tutur
di Minang dan lain-lain.
Di negara lain masyarakat tak
akan membiarkan dirinya melekan
sepanjang malam. Mereka pagi-pagi harus cepat-cepat bekerja. Paginya mereka
harus berdesakan di sarana-sarana transportasi, mengumpulkan pangan sebelum
datang pergantian musim. Selain musim berganti-ganti, cuaca harian pun
berubah-rubah. Maka, tidak seperti di sini, acara prakiraan cuaca punya rating
tinggi di televisi. Remaja dan ibu-ibu harus memperhatikan acara itu karena
takut salah kostum.
Tapi cerita tentang kebudayaan
adalah cerita tentang perubahan.
Maka saya tidak setuju seratus prosen bahwa bangsa kita akan selamanya
menjadi konsumen. Saya termasuk orang-orang yang optimis bahwa makin hari kita
akan makin dituntut untuk menjadi produsen karena alam mulai tak ramah.
Prakiraan cuaca dari BMG sekarang mulai diperhatikan karena bulan-bulan yang
biasanya kemarau, belum tentu kemarau.
Dunia pendidikan tinggi mulai
memperhatikan kewirausahaan. Dulu konsentrasi dunia universitas di Indonesia
adalah mengajarkan ilmu dan teknologi. Sekarang, karena disadari bahwa tak
mungkin kita terus-menerus menjadi konsumen, kampus-kampus mulai menekankan pendidikan
kewirausahaan agar bangsa ini beralih menjadi produsen.
Dan saya makin optimis karena
banyak yang tak sadar bahwa produk-produk dalam negeri sekarang pun sebenarnya
mulai punya tempat di masyarakat. Sepeda Polygon yang dikira produk luar,
ternyata adalah bikinan Surabaya.
Kita mungkin kebanyakan cuma tahu
bahwa produk-produk susu dikuasai oleh Nestle, Fontera, Morinaga. Padahal, di
antara persaingan ketatnya dengan produk-produk susu luar negeri, kita juga
punya produk sendiri antara lain SGM, Lactamil, Indomilk, Produgen dan
Tropicana.
Belum lagi sepatu atau sandal.
Tak banyak yang menyadari bahwa produk-produk lokal juga sudah mulai
mendapatkan tempat. Sebut contohnya Eagle, New Era, Pakalolo dan lain-lain.
Teman saya mencatat ada sampai
sekitar 250 merk dalam negeri yang lumayan dapat tempat di masyarakat.
Tak ada ruginya jadi orang yang
optimis.
Oleh Sujiwo tejo dalam bukunya “Ngawur Karena Benar”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar