Selasa, 13 Desember 2011

Dalam Sebuah Pendakian

Tiga tahun sudah hobi lama terkubur g bisa tersalurkan lg...apa itu? hehe, itulah naik gunung. Terakhir ketika duduk di bangku SMA. Yaa 3 tahun lalu ketika saya masih selalu bisa bersama-sama dengan keluarga besar saya "Teladan Hiking Association". Tulisan ini saya dedikasikan untuk kita semua, sekalian napak tilas 3 tahun yang lalu, saya masih ingat betul gunung terakhir yang kita jamah bersama, Ungaran Mt., Jawa Tengah, 2.050 dpl :)



Hal yang sangat menyenangkan mendaki sebuah gundukan tanah nan indah hasil penciptaan-Nya itu. Dengan naik gunung kita bisa mengenal siapa diri kita sebenarnya. Kita bisa mengetahui seberapa besar rasa syukur kita atas segala penciptaan-Nya, seberapa besar jiwa sosialis kita terhadap sesama, seberapa besar rasa cinta kita tehadap alam yang telah memberikan kita hidup, dan tentu masih banyak lagi hal yang bisa kita dapatkan (pelajaran) dari mendaki gunung. 

Kita bisa mengukur rasa syukur kita selama ini terhadap Sang Khalik, yaa itu bisa kita dapatkan lewat mendaki gunung. Ketika kita mendaki gunung, kita akan melihat betapa indahnya hamparan lukisan alam yang tiada tara. Sepanjang mata kita melihat (apalagi pas kita udah di  puncak) tak lepas dari awan-awan yang menggulung membentuk relief nan cantik, langit biru yang terbentang luas seakan tiada batas, sepoi-sepoi angin alam yang benar-benar fresh bebas dari kontaminasi polusi, hamparan hutan hijau yang menyejukkan mata, semerbak harumnya koloni bunga edelweiss (kalo pas untung-untungan sih bisa liat :p), dan masih banyak lagiii. Ketika kita bisa mendapatkan semua itu lewat mendaki gunung, hal pertama yang pantas kita lakukan hanyalah mengucap rasa syukur kepada-Nya. Merinding tentunya kita (saya lebih tepatnya :)) bisa mendapatkan pengalaman yang seperti itu, membuat kita ingat bahwa selama ini kita merasa selalu kurang atas apa yang kita dapatkan selama ini, merasa selalu kurang bersyukur atas segala nikmat-Nya, padahal banyak sekali hal indah yang telah Ia turunkan ke bumi, yaa salah satunya keindahan alam seperti gunung yang selalu mengahadirkan fenomena yan luar biasa :).

Dengan mendaki gunung pula kita bisa mengukur jiwa sosialis kita. Kita mendaki gunung tentunya tidak bisa hanya dengan seorang diri (umumnya hlo). Biasanya kita naik gunug selalu berkelompok, entah itu dengan teman sekolah kita, teman kuliah kita, ataupun rekan kerja kita. Tentu dalam sebuah perjalanan mendaki gunung, kita pernah mengalami sesuatu hal yang tidak kita inginkan (berdoa dulu harusnya sebelum memulai mendaki :)), entah itu ada temen kita yang tiba-tiba sakit karena kecapean atau temen yang kehabisan logistik.   Di sinilah jiwa sosial kita bisa kita ukur, dengan adanya temen yang mengalami peristiwa tersebut apakah kita hanya tinggal diam, tentu bagi seorang jiwa pendaki gunung sejati sudah sepantasnya kita bergerak cepat untuk membantunya. Tetapi kadang rasa egois selalu muncul tiap mendaki gunung, maklumlah hal itu, mngkin karena faktor sama-sama merasa capek. Meski capek kita harus selalu bisa mengesampingkan rasa ego kita untuk membantu temen kita sebisanya, semampunya, tentunya harus ikhlas. Apalah nikmat dari mendaki sebuah gunung, selain bisa mencapai puncak bareng-bareng. Nikmat yang paling josss bila bisa mencapai puncak sama-sama, apalagi bila dirayakan dengan rasa syukur, ditutup dengan minuman puncak (coca cola, A&W, sprite, dll :D)

Apakah kita telah mencintai lingkungan kita? Hal itu juga bisa terjawab dengan kita mendaki gunung. Kita sebagai pendaki gunung sejati tentu sangat prihatin sekali melihat banyak sampah yang dibuang begitu saja, digeletakkan sembarangan, ditinggalkan tanpa merasa bersalah. Banyak coretan tangan-tangan jail di setiap batu-batu yang kita jumpai, relief-relief di pohon-pohon, bekas-bekas petikan bunga edelweiss yang dipetik terus dibuang begitu saja. Sungguh hal yang bukan merupakan sikap dari seorang pecinta alam. Tentu kita sebagai seorang pendaki ingat akan kalimat ini "dilarang mengambil sesuatu kecuali gambar, dilarang meninggalkan sesuatu kecuali jejak dan dilarang membunuh kecuali waktu". Sungguh ironis kita sebagai seorang yang mengatasnamakan sebagai seorang pecinta alam tidak paham akan kalimat tersebut, bukan sekedar paham, yang harus kita lakukan adalah mengaplikasikannya. Dengan tindakan merusak semacam itu apakah kita sudah mencintai lingkungan kita? Mari kita renungkan :)

Mungkin beberapa orang melihat kita sebagai seorang pendaki sejati seperti hanya melakukan perbuatan yang sia-sia ketika mendaki sebuah gunung. Mungkin mereka berpikir "kenapa harus capek-capek naik, kalau ujung-ujungnya hanya akan turun juga"...yaa itulah yang dinamakan hobi, hehehe. Capek memang prosesnya, tetapi ketika kita udah nyampai puncak dan turun lagi dengan selamat, itulah output yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bahkan kita bisa mendapatkan sebuah outcome, kita bisa belajar mencintai alam di sekitar kita. Salam Lestari.

Tersirat kata "Selamat Hari Gunung Internasional, 11 Desember 2011"
Tema tahun ini adalah "Mountain & Forest".


"Tema Hari Gunung Internasional tahun ini fokus pada Pegunungan dan Hutan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang relevansi hutan pegunungan dan peranannya dalam Ekonomi Hijau serta dalam langkah-langkah adaptasi perubahan iklim.


Hutan pegunungan yang sehat sangat penting bagi kesehatan ekologi dunia. Mereka melindungi daerah aliran sungai yang memasok air tawar ke lebih dari setengah penduduk dunia. Mereka juga adalah rumah satwa liar yang tak terhitung, menyediakan makanan dan pakan ternak untuk orang-orang gunung dan merupakan sumber penting dari produk kayu dan non-kayu.


Namun di banyak bagian dunia hutan pegunungan berada di bawah ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya dan deforestasi di hutan pegunungan tropis berlanjut pada tingkat yang luar biasa. Melindungi hutan dan memastikan mereka hati-hati dikelola merupakan langkah penting menuju pembangunan gunung yang berkelanjutan"


-catatancalonpemikir-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar